FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Guru : Pahlawan Melahirkan Pahlawan


OPINI, Foxnesia.com - Apakah guru hanya menjadi jembatan untuk menciptakan para pahlawan atau justru guru termasuk bagian dari kepahlawanan itu sendiri?

Pertanyaan tersebut mengandung refleksi yang tajam tentang bagaimana bangsa ini memaknai perjuangan di era modern. 

Pada ukiran pena sejarah, pahlawan selalu diilustrasikan dengan keberanian, pengorbanan, dan semangat juang yang membara. 

Dahulu, pahlawan berdiri di garis depan medan perang untuk mengangkat senjata dan menantang maut demi merebut kemerdekaan. 

Saat ini, pahlawan hadir dalam rupa yang berbeda. Perjuangan itu bersemi di ruang-ruang kelas,  berdialog dengan siswa, dan berkisah di antara harapan dan cita-cita bangsa. 

Senjata mereka bukan peluru tapi diksi (kumpulan kata), bukan strategi perang akan tetapi strategi berpikir dan bermakna secara utuh.

Perubahan zaman telah menggeser secara langsung pemaknaan tentang kepahlawanan. Bangsa ini tidak lagi dijajah secara fisik tetapi secara intelektual dan moral. 

Tantangan terbesar di depan mata bukan lagi pada penjajah ataupun perompak kemanusiaan akan tetapi prihal kebodohan, ketimpangan sosial, dan hilangnya daya nalar serta ketidakadilan. 

Dalam konteks inilah, sosok guru menjadi ujung tombak perjuangan yang nyata sekaligus pembaharuan yang abadi. 

Guru adalah figur yang menanamkan kesadaran berpikir, menumbuhkan empati, dan membentuk karakter  yang membumi. 

Mereka bukan sekadar pengajar tetapi penuntun arah dalam labirin kehidupan modern yang kian kompleks (rumit). 

Di tengah gempuran teknologi dan komersialisasi pendidikan, sangat disayangkan ketika peran guru sering kali termarginalkan oleh sistem yang lebih menghargai hasil daripada proses.

Salah satu pahlawan bangsa (Sutan Syahrir), seorang intelektual pejuang yang berpikiran jauh ke depan menuliskan bahwa, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan.” 

Kalimat tersebut bukan sekadar semboyan heroik atau seremonial semata, akan tetap refleksi tentang keberanian untuk tetap berjuang sekalipun tanpa jaminan kemenangan. 

Bagaimana posisi Guru? dalam diamnya, ia telah mempertaruhkan banyak hal yakni waktu, tenaga, kesabaran, bahkan idealisme.

Setiap hari mereka berhadapan dengan kenyataan yang tidak selalu memeluk harapan. Seringkali mereka mengajar di sekolah dengan fasilitas terbatas, menghadapi siswa dengan latar belakang sosial yang beragam, dan bekerja di bawah tekanan yang berlebihan. 

Namun mereka tetap bertahan karena kesadaran akan perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil yang terus diperjuangkan.

Ironis, Paradigma tentang kepahlawan telah digaungkan sejak sejarah pertama kali dilambungkan. Guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. 

Sebuah kalimat yang terdengar luhur namun perlahan menjelma sebagai paradoks. 

Ketika pertanyaan dilontarkan, “Siapakah pahlawan yang kalian tahu?” Suara-suara yang bergema dan saling bertaut akan menyebut dengan lantang: Bung Hatta, Bung Tomo, Bung Karno. 

Tapi, tak ada satu pun menyebut empat huruf yang seharusnya hidup dalam ingatan yakni guru.

Tak ada yang mengingat sosok yang menuntun sebelum mengenal nama-nama besar itu. 

Tak ada yang menyadari bahwa sebelum para pahlawan berdiri di panggung sejarah tentu ada seorang guru yang menyalakan api kecil di dada perjuangan. 

Namun justru di balik kalimat yang terdengar mulia itu, ada ironi yang sunyi bersemanyam memeluk relita. 

Penghargaan terhadap guru berhenti di bibir manis dan tak pernah benar-benar sampai ke nurani kebijakan. 

Mereka dielu-elukan dalam pidato panjang tahunan tapi dilupakan dalam keputusan yang berkelanjutan. 

Di atas panggung mereka dipuja akan tetapi di ruang nyata mereka menanggung sepi dibalut keheningan yang amat panjang.

Kepahlawanan masa kini semestinya menempatkan guru bukan hanya sebagai “jembatan” bagi lahirnya generasi hebat tetapi sebagai “arsitek peradaban” yang membangun rangka dan pondasi bangsa. 

Tanpa guru, kemerdekaan yang diraih dengan darah dan air mata para pejuang terdahulu hanya akan menjadi slogan tanpa makna. 

Di tengah situasi seperti ini, guru tetap dituntut untuk mencetak generasi unggul. Kemudian, anak-anak diupayakan agar mampu berpikir kritis, kreatif, dan berkarakter. 

Namun muncul pertanyaan, bagaimana mungkin cita-cita besar itu tercapai jika sistem tidak memberi ruang bagi guru untuk tumbuh secara intelektual dan profesional?.

Sutan Syahrir dalam perjuangannya mengajarkan pentingnya berpikir jernih dan rasional. Ia menolak politik kekerasan dan memilih jalan intelektual sebagai bentuk perjuangan. 

Pemikiran itu sejalan dengan semangat guru masa kini yakni berjuang melalui pemikiran (bernalar kritis) bukan pertempuran fisik, dari hati ketulusan bukan pukulan kemarahan.

Pendidikan yang memerdekakan tidak akan lahir dari sistem yang kaku tetapi dari guru yang berpikir bebas dan berani menantang ketidakadilan. 

Di sinilah semangat Sutan Syahrir menemukan relevansinya. “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan”. 

Faktanya, guru setiap waktu mempertaruhkan dirinya demi masa depan yang lebih baik. Maka, ketika bangsa ini berbicara tentang pahlawan,  seharusnya nama guru tidak hanya disebut dalam upacara Hari Pahlawan. 

Sebab mereka adalah pahlawan sejati yang terus berdiri di atas kepercayaan dan perjuangan bahkan ketika sorotan publik telah beralih secara manual.

Guru adalah kunci peradaban saat ini. Mereka adalah penjaga akal sehat bangsa, benteng terakhir dari lunturnya nilai kemanusiaan sekaligus pengingat bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dipertahankan dengan pendidikan yang hidup. 

Guru tidak cukup hanya dihormati tapi harus diberdayakan dengan sebaik-baiknya. Lebih jauh lagi, perjuangan guru kini bukan hanya dalam hal mengajar tetapi juga melawan disinformasi dan degradasi moral yang melanda generasi bangsa. 

Dalam era digital, di mana informasi berserakan tanpa batas maka tugas guru harus menjadi filter moral sekaligus penjaga nalar. 

Mereka harus memastikan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya diajarkan tetapi dimaknai dan selama masih ada guru yang percaya pada kekuatan ilmu dan kejujuran, tentu bangsa ini tidak akan pernah benar-benar kalah dalam pertarungan zaman. 

Sebab di tangan merekalah, ada arus perjuangan yang terus diwariskan untuk generasi ke generasi.

Guru adalah pahlawan yang melahirkan pahlawan.

Dari tangan mereka lahir peradaban.

Dari tutur mereka tumbuh keberanian.

Dari ketulusan mereka mengalir kebenaran.

Selama guru menanam ilmu dengan kesabaran maka bangsa ini takkan kehilangan harapan. 

Sebab, di dada setiap guru menyala abadi jiwa kepahlawanan.


Wardiman, S.Pd., M.Pd.
(Guru Pengajar SMAN 1 Banjarmasin)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan