Empati : Kunci Pendidikan
Oktober 03, 2025
OPINI, Foxnesia.com - Pendidikan bukan persoalan menyampaikan ilmu tetapi juga tentang bagaimana seorang guru hadir sebagai manusia yang memahami manusia lain (Human to human).
Di ruang-ruang kelas, Siswa tidak hanya membawa buku dan pena melainkan juga membawa perasaan, cerita, dan rangkain persoalan dalam hidup mereka.
Disinilah peran empati menjadi kunci agar proses belajar mengajar tidak sekadar berlangsung, akan tetapi bermakna dan utuh.
Guru yang berempati mampu melihat lebih dalam tentang sikap pasif siswa yang memiliki rasa takut, khawatir, ataupun rasa tidak aman. Sedangkan, dibalik kenakalan barangkali ada kegelisahan dan kebutuhan akan sebuah perhatian.
Kita sering mendengar bahwa kenakalan siswa tidak selalu lahir dari tabiatnya. Lebih sering, tumbuh dari kurangnya perhatian, rasa terabaikan, dan posisi dirinya yang termarginalkan secara kemanusiaan.
Karena itu, ia cenderung melakukan hal-hal yang mampu menarik perhatian bahkan seolah ingin berteriak agar kebutuhannya diakui dan dimengerti.
Lalu, apakah guru harus peka?
Tentu saja, justru kepekaan itulah yang menjadi pintu hadirnya empati.
Zaman bergulir begitu cepat bak bola panas. Transformasi digital menjadikan pendidikan seperti mesin untuk mencetak generasi serba instan dan Problematika saat ini adalah guru dihadapkan pada gelombang target (Result) serta berbagai macam administrasi yang menumpuk.
Namun, apabila semua itu membuat guru lupa pada aspek kemanusiaan dalam hal mengajar maka, secara perlahan pendidikan akan kehilangan jiwanya sendiri (ada namun tak berkesan, pergi tanpa meninggalkan jejak).
Bayangkan seorang anak datang ke sekolah dengan perut kosong. Saat ia tidak fokus belajar dan sulit berkonsentrasi, guru yang berempati tentu tidak serta-merta menegur atau menghukum tapi berusaha memahami kondisi anak tersebut.
Sebab, empati tak sebatas melahirkan pengertian tetapi juga membuka jalan menuju solusi yang lebih manusiawi.
Empati memiliki kontribusi untuk mengingatkan guru bahwa anak-anak bukanlah sebuah objek melainkan subjek yang memiliki martabat dan perasaan.
Di Denmark terdapat program "Klassens Tid" yang dapat diartikan sebagai kelas empati. Program ini diberikan satu jam setiap minggu untuk siswa berusia 6–16 tahun.
Dalam sesi tersebut, guru dan siswa berdiskusi tentang berbagai persoalan di kelas, kehidupan pribadi, atau sekadar berbagi suasana yang nyaman (relaxing).
Konsep ini sejalan dengan budaya (Hygge) yang telah lama melekat dalam kehidupan masyarakat Denmark yakni nilai kebahagiaan, kebersamaan, kedekatan, kenyamanan, dan kesederhanaan. Dengan dasar itulah kelas empati dapat tumbuh dan berjalan.
Teringat perkataan ayah saat itu, Guru yang berempati mampu menciptakan ruang kelas yang aman dan nyaman. Anak-anak merasa didengar, diterima, dan dihargai.
Hal ini bukan semata memperkuat motivasi belajar tetapi juga membangun karakter siswa untuk ikut menumbuhkan empati pada orang lain.
Sebaliknya, pendidikan yang kosong dari empati akan menghasilkan siswa yang cerdas secara intelektual namun miskin akan rasa kemanusiaan.
Mereka bisa saja pandai berhitung dan menghafal jutaan teori tapi gagal memahami jiwa antar sesama.
Sejujurnya, inilah yang menjadi tantangan besar dunia pendidikan hari ini "Bagaimana menyeimbangkan kecerdasan otak dengan kecerdasan emosional secara berkesinambungan".
Sering kali, siswa tidak belajar dari apa yang guru ucapkan, akan tetapi bagaimana guru bersikap saat di kelas bahkan di luar.
Ketika guru memperlakukan siswa dengan penuh pengertian, siswa belajar tentang kepedulian.
Ketika guru mendengarkan dengan sabar, siswa belajar tentang menghargai.
Ketika guru memperlakukan siswa dengan kasar, siswa belajar tentang dendam.
Ketika guru memperlihatkan Ketegasan, siswa belajar kedisiplinan.
Lebih jauh lagi, empati dapat memperkuat ikatan antara guru dan siswa. Ikatan ini tidak hanya penting untuk keberhasilan akademik tetapi proses pembentukan karakter.
Siswa yang merasa dipahami cenderung lebih terbuka, lebih percaya, dan lebih bersemangat untuk belajar.
Sejatinya empati bukan berarti mengabaikan kedisiplinan (Ketegasan) atau standar pembelajaran. Empati justru memberi dasar yang kokoh bagi disiplin yang adil.
Guru tetap bisa menegakkan aturan dengan cara yang tidak melukai tapi membimbing. Empati mengubah hukuman menjadi pelajaran dan kritik menjadi nasihat yang menumbuhkan kesadaran.
Di tengah dunia yang semakin kompetitif maka empati sebagai pelita yang membuat pendidikan tetap manusiawi.
Guru dengan empati akan selalu menjadi kunci utama, bukan hanya membuka pintu ilmu akan tetapi juga pintu keajaiban.
Akhirnya, pendidikan hakiki bukan sekadar mencetak generasi terampil melainkan membentuk generasi yang memiliki perasaan (Character) dan kecerdasan (Intelektual).
Terakhir, Tuhan memberikan hati kepada manusia agar ia tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri melainkan mampu merasakan denyut dan rasa yang dialami sesaman.
Penulis : Wardiman, S.Pd., M.Pd
(Pengajar di SMAN 1 Banjarmasin)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis