FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Doa Bersama di Ruteng, Gereja dan Pemerintah Daerah Kirim Pesan Politik Damai



MANGGARAI, Foxnesia.com - Saat Jakarta dan sejumlah kota besar lain berguncang oleh aksi mahasiswa menolak kebijakan nasional, Ruteng memilih jalan berbeda. 

Natas Labar Motang Rua bukan dipenuhi orasi dan spanduk, melainkan ratusan umat lintas iman yang larut dalam doa.

Bupati Manggarai, Herybertus L. Nabit, hadir menyampaikan sambutan sebelum misa dimulai. 

Ia menjadikan doa bersama itu bukan sekadar ritual, tetapi sebuah pernyataan politik yang dikemas dalam keheningan spiritual.

Di panggung doa, tokoh Islam, Katolik, Protestan, Hindu, hingga pemimpin adat duduk berdampingan bersama mahasiswa. 

"Tidak ada tuntutan lantang, tidak ada simbol penolakan. Yang ada hanyalah doa yang mengalun, mengirim pesan tunggal: Manggarai menolak politik gaduh, memilih politik damai," ucapnya, Rabu (02/09/2025).

Gereja Turun Suara

Apresiasi paling kuat datang dari Suster Yen, perwakilan biarawati Keuskupan Ruteng. Ia menyebut inisiatif ini bukan basa-basi, melainkan langkah nyata pemerintah daerah menjawab kegelisahan publik.

“Kami berterima kasih kepada Bupati dan jajaran. Doa ini menunjukkan pemerintah peduli. Manggarai tidak memilih gaduh, tetapi menyalakan jalan damai. Dan itu pesan yang sangat kuat bagi bangsa,” ujarnya.

Pernyataan itu menegaskan posisi Gereja: doa bersama bukan hanya urusan religius, tetapi juga sikap moral terhadap hiruk-pikuk politik nasional.

Lintas Iman, Lintas Generasi

Doa bersama ini menjadi potret lain wajah Manggarai. Para pemuka agama lintas iman menanggalkan sekat, duduk sejajar dalam satu barisan. Mahasiswa yang biasanya mengisi jalan dengan orasi, kini hadir membawa energi spiritual.

Misa kudus yang menyertai acara ini menambah kedalaman makna: spiritualitas tidak berarti menghindar dari realitas, tetapi menjadi bagian dari perjuangan moral bangsa.

Pesan Politik dari Bupati

Dalam sambutannya, Bupati Nabit menyampaikan pesan yang sarat makna politis. Ia menegaskan bahwa Manggarai memiliki pilihan jalan sendiri dalam menghadapi riuh nasional.

“Bangsa ini sedang diuji. Tuntutan mahasiswa, tarik-menarik kepentingan politik, dan berbagai persoalan lain bisa memecah kita. Dari Manggarai, mari kita tunjukkan jalan sejuk: doa, persaudaraan, dan solidaritas. Itulah yang akan menjaga Indonesia tetap berdiri,” tegasnya.

Pesan ini bukan hanya ditujukan untuk warga lokal, melainkan juga ditangkap sebagai sinyal moral ke Jakarta: Manggarai menolak ikut arus gaduh, memilih jalur damai sebagai strategi politik.

Lebih dari Ritual

Lilin yang menyala, doa yang bergema, wajah-wajah muda larut dalam keheningan semua simbol sederhana itu memperlihatkan satu hal: doa bersama ini tidak berhenti sebagai seremoni. Ia adalah perlawanan kultural terhadap politik gaduh yang belakangan menguasai ruang publik.

Catatan Jurnalistik

Apa yang terjadi di Ruteng bukan peristiwa biasa. Ia adalah cara Manggarai mengartikulasikan kegelisahan nasional dengan bahasa lokal: doa dan persaudaraan. 

Dalam kacamata politik, doa bersama ini adalah deklarasi moral—bahwa bangsa tidak hanya bisa bersuara lewat jalanan, tetapi juga lewat spiritualitas yang menyatukan.

Ruteng seakan mengirim pesan ke seluruh Indonesia: politik tidak selalu harus riuh. Kadang, ia justru paling lantang ketika diucapkan dalam doa.

Laporan : Nobertus Patut
Editor : Haeril
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan