Dari Isu Bubarkan DPR ke Reshuffle Kabinet : Demokrasi dalam Panggung Rekayasa
September 09, 2025
OPINI, Foxnesia.com - Indonesia tengah berada dalam pusaran krisis politik yang kian dalam. Beberapa pekan yang lalu, kita menyaksikan ledakan amarah rakyat yang tumpah ke jalan-jalan. Isu “bubarkan DPR” bergema dari berbagai daerah, menyulut aksi protes masif yang kemudian berujung pada bentrokan, kerusuhan, bahkan jatuhnya korban jiwa. Gambar-gambar jalanan yang penuh asap gas air mata, teriakan massa, hingga tubuh-tubuh yang tergeletak menjadi saksi betapa seriusnya krisis legitimasi politik yang tengah kita hadapi.
Namun, anehnya, hanya dalam hitungan hari, peristiwa besar itu seperti ditelan bumi. Media arus utama yang sebelumnya gencar menayangkan potret kerusuhan kini beralih fokus. Narasi protes rakyat perlahan menghilang dari halaman depan dan layar televisi. Agenda baru yang lebih “aman” dan “elegan” muncul menggantikannya: reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Prabowo. Kini, sorotan media lebih sibuk memperdebatkan siapa yang masuk, siapa yang keluar, dan bagaimana wajah baru kabinet akan mengubah arah kebijakan pemerintahan.
Sebuah pergeseran drastis terjadi. Isu besar yang menelan korban jiwa, yang seharusnya memicu refleksi serius tentang nasib demokrasi, justru tenggelam di bawah gemerlap panggung politik elit. Peristiwa ini bukan kebetulan, melainkan cerminan dari bagaimana kuasa media dan rekayasa sosial bekerja dalam politik kontemporer Indonesia.
*Noam Chomsky: Media sebagai Alat Manufacturing Consent*
Noam Chomsky, intelektual Amerika yang dikenal dengan kritik tajamnya terhadap politik dan media, memperkenalkan konsep manufacturing consent—pembuatan konsensus. Bagi Chomsky, media tidaklah netral. Media berfungsi sebagai alat propaganda yang digunakan oleh elite politik dan ekonomi untuk membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan mereka.
Dalam kerangka ini, apa yang ditampilkan media ke publik bukanlah gambaran realitas yang utuh, melainkan realitas yang sudah dipilah, diedit, dan dikemas. Media menentukan apa yang penting untuk diberitakan (what to think about) dan bagaimana sesuatu diberitakan (how to think about it). Dengan kata lain, media membentuk persepsi kita tentang dunia, bukan sekadar menyampaikannya.
Jika kita melihat situasi Indonesia hari ini, teori Chomsky menemukan relevansinya. Isu “bubarkan DPR” yang sepekan lalu memanas mendadak direduksi. Media berhenti menyoroti korban jiwa, berhenti membicarakan akar masalah, dan berhenti memberi ruang bagi aspirasi rakyat yang marah. Narasi yang sebelumnya mengisi ruang publik kini tergantikan oleh isu reshuffle kabinet. Publik pun digiring untuk menganggap bahwa yang lebih penting adalah wajah baru pemerintahan, bukan darah rakyat yang tumpah di jalanan. Apa yang semula tampak sebagai krisis serius demokrasi, kini hanya menjadi catatan pinggir dalam ingatan kolektif.
Inilah kuasa media: mereka mampu mengalihkan perhatian publik, membelokkan kesadaran massa, dan menenggelamkan isu-isu yang mengancam legitimasi elite. Seolah-olah, tragedi politik yang terjadi hanyalah angin lalu, digantikan dengan euforia baru yang dikendalikan dari pusat kekuasaan.
*Jalaluddin Rakhmat: Rekayasa Sosial melalui Komunikasi*
Jika Chomsky memberi kita perspektif tentang bagaimana media membentuk konsensus, maka Jalaluddin Rakhmat—cendekiawan komunikasi Indonesia—menawarkan pemahaman tentang bagaimana komunikasi dapat digunakan sebagai alat rekayasa sosial.
Bagi Jalaluddin, komunikasi bukan hanya sarana tukar informasi, tetapi juga instrumen untuk mengubah cara berpikir, perilaku, bahkan kesadaran sosial masyarakat. Melalui bahasa yang dipilih, simbol yang ditampilkan, dan pengulangan pesan, kesadaran publik dapat diarahkan.
Dalam konteks politik hari ini, rekayasa sosial terlihat jelas. Setelah kerusuhan merebak akibat isu “bubarkan DPR”, media beralih menampilkan wajah Presiden tersenyum saat melantik menteri baru. Tayangan televisi menggambarkan optimisme, stabilitas, dan harapan akan perubahan. Publik pun digiring untuk percaya bahwa inilah yang lebih penting: pemerintah yang solid dan stabil, bukan kerusuhan yang “hanya ulah segelintir orang.”
Simbol dan narasi bekerja dengan halus. Gambar para menteri baru bersalaman dengan presiden, analisis politikus yang penuh optimisme, hingga headline yang menggambarkan “arah baru kabinet”—semua itu adalah bagian dari rekayasa sosial untuk menanamkan keyakinan bahwa demokrasi Indonesia baik-baik saja. Luka rakyat yang baru saja terjadi dipaksa tenggelam dalam pusaran narasi stabilitas.
Rekayasa sosial semacam ini berbahaya. Ia membuat rakyat cepat melupakan, kehilangan daya kritis, dan mudah diarahkan pada isu-isu yang diciptakan oleh elite. Ketika rakyat terjebak dalam siklus lupa dan euforia, elite semakin leluasa memainkan panggung politik tanpa perlu takut dengan akuntabilitas publik.
Jika kita rangkai pandangan Chomsky dan Jalaluddin, kita mendapatkan gambaran yang lebih utuh: media dan elite politik berkolaborasi dalam menciptakan kesadaran palsu. Media membentuk konsensus, sementara komunikasi politik merekayasa perilaku sosial. Hasilnya adalah ilusi demokrasi.
Demokrasi yang seharusnya berarti kekuasaan rakyat, kini hanya menjadi formalitas. Rakyat hanya “dilibatkan” saat pemilu, sementara kesehariannya diisi dengan tontonan politik yang sudah diatur skenarionya. Ketika rakyat melawan dan turun ke jalan, mereka cepat distigmatisasi sebagai “perusuh”. Dan ketika korban jiwa jatuh, narasi itu segera ditutup dengan agenda baru yang lebih ramah bagi elite.
*Luka yang Tertutup, Masalah yang Tidak Selesai*
Yang lebih mengkhawatirkan dari semua ini adalah: dengan cepatnya isu besar tenggelam, luka rakyat yang sebenarnya tidak pernah sembuh. Korban jiwa dari kerusuhan bukan sekadar angka, melainkan manusia dengan keluarga, dengan harapan, dengan masa depan yang terenggut.
Ketika media mengalihkan sorotan, kita diajak melupakan mereka. Padahal, setiap tetes darah yang tumpah adalah tanda kegagalan demokrasi. Setiap nyawa yang melayang adalah bukti bahwa sistem representasi kita sedang sakit parah.
Dan ketika luka itu ditutup begitu cepat dengan narasi baru, masalahnya tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya ditunda, disapu ke bawah karpet, menunggu saat untuk meledak kembali dengan intensitas yang lebih besar.
Situasi politik Indonesia hari ini mengajarkan kita betapa rapuhnya demokrasi tanpa media yang independen dan tanpa komunikasi politik yang jujur. Dengan kuasa media ala Chomsky, rakyat diarahkan untuk melupakan isu-isu yang mengancam legitimasi elite. Dengan rekayasa sosial ala Jalaluddin, rakyat dipersuasi untuk percaya pada narasi stabilitas, meski realitasnya penuh luka.
Kita sedang hidup dalam demokrasi yang hanya tampak di permukaan, tetapi di dalamnya kosong. Demokrasi yang lebih mirip ilusi: rakyat bersuara, tetapi suaranya dibungkam oleh framing media; rakyat berkorban, tetapi pengorbanannya ditutup oleh narasi stabilitas; rakyat menuntut perubahan, tetapi dijawab dengan drama reshuffle yang tak menyentuh akar masalah.
Pertanyaannya kini: apakah rakyat akan terus membiarkan diri direkayasa, ataukah kesadaran kritis akan lahir untuk merebut kembali panggung demokrasi? Sebab selama rakyat masih menjadi penonton, elite akan terus menulis naskahnya, media akan terus menyebarkannya, dan demokrasi akan tetap menjadi bayangan indah dari jauh, tetapi rapuh di dalam.
Penulis : Ahmad Aidil Fahri
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*