FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Pati Sebagai Barometer Demokrasi Lokal dan Nasional


OPINI, Foxnesia.com - Jika rakyat Pati berhasil menurunkan "Si Raja Kecil" dari singgasananya entah itu lewat pemilu, demonstrasi, atau upaya hukum lainnya tentu akan menjadi sinyal kuat bahwa rakyat masih memiliki kekuatan nyata untuk mengoreksi kekuasaan. 

Pejabat di daerah lain pun diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam memformulasikan kebijakan dan menjaga legitimasi moral serta dukungan publik mereka.

Pati bukan sekadar Kabupaten di Jawa Tengah. Besok, ia bisa menjadi cermin masa depan demokrasi di Indonesia. Kalau rakyatnya berhasil menurunkan “Si Raja Kecil” melalui mekanisme konstitusional, itu adalah tamparan politik yang menegaskan, jabatan publik bukan hak turun temurun, melainkan amanah rakyat. 

Tapi kalau gagal, pesan yang sampai ke pejabat di seluruh negeri sangat sederhana bahwa "anda bisa seenaknya, sedang rakyat tak berdaya"

Sebaliknya, jikalau raktyat Pati gagal maka, tentu ini akan menjadi peringatan serius.

Karena jika rakyat gagal karena manipulasi pemilu, represi, atau lemahnya partisipasi maka ini menciptakan atmosfer permisif bagi pejabat untuk bertindak arogan dan semaunya, seolah jabatan menjadi kekuatan tanpa batas. Inilah ketika demokrasi benar-benar tersandera oleh elit.

Kabupaten Pati bukan hanya soal sebagian daerah saja, melainkan gerakan politik yang kuat dan credible di daerah seperti Pati bisa memicu momentum nasional, termasuk memunculkan kembali semangat partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. 

Kemenangan rakyat di pati sebenarnya adalah kemenangan demokrasi itu sendiri.

Landasan Hukum serta Data Pendukung pergerakan

1. Kedaulatan di tangan rakyat
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, Ini menjadi akar bahwa segala bentuk legitimasi kekuasaan negara berasal dari rakyat. 

Prinsip "Constitutional Democracy" pelaksanaan kedaulatan rakyat harus sesuai dengan konstitusi, bukan semena-mena oleh penguasa menegaskan bahwa kekuasaan berbasis hukum, bukan otoriter.

 2. Partisipasi masyarakat sebagai penjaga demokrasi. Partisipasi publik termasuk hak memilih, kebebasan berpendapat, mengawasi merupakan sarana untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Partisipasi publik yang tinggi memperkuat legitimasi kebijakan, kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan, dan stabilitas politik.

3. Pemilu dan demokrasi representatif
Pelaksanaan Pilkada langsung sejak 2005 memberi rakyat kesempatan nyata menentukan pemimpinnya sebuah bagian penting dari redistribusi kekuasaan kembali ke rakyat.

Pemilu adalah "barometer utama" sejauh mana partisipasi politik masyarakat tercapai bila partisipasi rendah, itu bisa menjadi alarm demokrasi mandek.

 4. Peran partai politik dan regulasi untuk akuntabilitas. Partai politik adalah saluran rakyat untuk mewujudkan aspirasi dan membentuk kebijakan publik. 

Namun, terdapat tantangan besar dalam transparansi, akuntabilitas, dan kaderisasi. Regulasi perlu ditingkatkan agar partai politik tidak menjadi alat semata dan bisa diakses sistem pengawasannya, termasuk soal pembubaran apabila melanggar prinsip demokrasi.

UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menjadi landasan hukum penting dalam mengatur eksistensi dan fungsi partai dalam demokrasi Indonesia.

Jika Rakyat Pati mampu mengambil langkah politik yang menentukan nasib pemimpinnya "dengan jujur dan adil", itu adalah bukti kuat bahwa demokrasi secara bottom up masih hidup dan "Vox Populi Vox dei" bukan hanya sekadar redaksi kalimat penenang semata. 

Karena, secara "konstitusional" kekuasaan berasal dari rakyat. Tekanan, pengawasan, dan partisipasi aktif masyarakat adalah penyeimbang kekuasaan, tanpa itu demokrasi bisa tergilas oleh ambisi penguasa.

Pati adalah ujian lakmus di sebuah negara demokrasi. Jika rakyat berhasil mengoreksi kekuasaan, itu akan menjadi preseden atau contoh yang menakutkan bagi pejabat yang bermain-main dengan amanah. 

Jika gagal, kita harus jujur mengakui bahwa demokrasi Indonesia makin condong menjadi teater politik dengan rakyat di kursi penonton, bukan di panggung pengambilan keputusan.

Penulis : Fathan Muharram
(Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UINAM)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan