Dari Istana ke Sinjai : Potret Gagalnya Konsistensi Tahun Pertama Prabowo Gibran
Oktober 20, 2025
OPINI, Foxnesia.com - Satu tahun sudah pemerintahan Prabowo Gibran berjalan. Waktu yang cukup untuk menilai arah, menguji janji dan membaca konsistensi kebijakan yang dijalankan.
Pemerintahan baru ini datang dengan semangat besar tentang keberlanjutan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Namun di lapangan, yang tampak justru wajah lama dalam kemasan baru.
Janji politik berubah menjadi jargon, dan jargon menjelma rutinitas birokrasi yang jauh dari kebutuhan rakyat di daerah.
Program populis seperti makan siang gratis, hilirisasi tambang, dan ketahanan pangan memang ramai diberitakan di pusat.
Tetapi di Kabupaten Sinjai, denyut kebijakan itu hampir tak terasa. Petani di Sinjai Timur masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, sawah-sawah di Tellulimpoe kekeringan karena irigasi rusak, dan nelayan di Pulau Sembilan mengeluh harga solar melambung.
Pemerintah berbicara tentang kedaulatan ekonomi nasional, tetapi rakyat Sinjai masih berhadapan dengan jalan rusak antar desa, pasar tradisional yang kumuh, serta harga hasil bumi yang tidak stabil.
Dari istana terdengar gemuruh proyek besar, namun di pesisir dan pegunungan Sinjai, rakyat menanggung biaya dari kebijakan yang tidak berpijak pada realitas.
Sebagai mahasiswa dan putra daerah, saya menyaksikan jurang yang semakin lebar antara narasi pembangunan dan kenyataan di lapangan.
Pemerintahan ini sibuk membangun citra di pusat, tetapi lupa bahwa Indonesia sejati ada di daerah-daerah seperti Sinjai.
Di sinilah rakyat berjuang mempertahankan hidup di tengah kebijakan yang tidak berpihak. Ironinya, rakyat Sinjai lebih sering menonton janji ketimbang menikmati hasil pembangunan yang dijanjikan.
Isu lingkungan dan tambang menjadi luka yang belum sembuh. Di Sinjai Borong dan Sinjai Barat, izin tambang batu dan nikel mulai merambah wilayah rawan longsor.
Alih fungsi lahan terjadi tanpa kajian ekologis yang serius, mengancam sumber air dan merusak ruang hidup masyarakat.
Pemerintah pusat berbicara tentang ekonomi hijau, tetapi di Sinjai, yang tumbuh justru ekonomi gelap yang menyingkirkan warga dari tanahnya sendiri.
Ketika air bersih mulai sulit diakses dan kebun rakyat tergerus tambang, maka sesungguhnya pembangunan telah kehilangan arah moralnya.
Demokrasi pun tidak lebih baik. Suara kritis di daerah sering dianggap mengganggu harmoni, padahal kritik adalah vitamin bagi demokrasi.
Aktivis lingkungan dan mahasiswa yang bersuara kerap dikucilkan. Pemerintah yang takut dikritik sesungguhnya sedang kehilangan keberanian politiknya.
Bidang pendidikan juga belum menunjukkan kemajuan berarti. Banyak sekolah di pelosok Sinjai kekurangan tenaga guru, terutama di daerah pesisir dan pegunungan.
Guru honorer masih bergulat dengan kesejahteraan dan fasilitas belajar jauh dari layak. Slogan Indonesia Emas 2045 tidak akan bermakna jika anak-anak di Sinjai masih belajar di ruang kelas bocor dan berlantai tanah.
Saya menulis bukan untuk memancing amarah, melainkan untuk menggugat kesadaran nasional. Pemerintahan ini harus memahami bahwa rakyat bukan objek pencitraan, melainkan subjek perubahan.
Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang pandai berpidato, tetapi yang mampu menepati janji dan berpihak pada keadilan.
Setahun sudah waktu berjalan, dan ini cukup untuk menilai arah. Namun masih ada kesempatan untuk memperbaiki langkah.
Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat bahwa Prabowo Gibran adalah pemerintahan baru dengan masalah lama yang gagah di istana, tetapi gagal di daerah seperti Sinjai.
Penulis : Rahim
(Mahasiswa Asal Sinjai)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis