Pajak Daerah Sinjai Bocor, Diduga Ratusan Juta tidak Masuk Kas Daerah
September 22, 2025
SINJAI, Foxnesia.com - Dugaan kebocoran pajak daerah di Kabupaten Sinjai menyeruak ke publik dan mulai menjadi perhatian serius, tidak hanya dari sisi tata kelola keuangan daerah, tetapi juga dari aspek hukum.
Hasil investigasi dari Forum Mahasiswa Sinjai (FMS) mengungkap hasil kebocoran pajak daerah tahun 2024. Laporan realisasi tahun anggaran 2024 mencatat pemasukan Rp17,94 miliar atau 97,83 persen dari target Rp18,34 miliar. Namun di balik angka yang tampak positif itu,
"Investigasi lapangan menunjukkan adanya pungutan pajak yang tidak sampai ke kas daerah, dengan nilai kebocoran mencapai ratusan juta rupiah," ungkap Rahim, Senin (22/9/25).
"Sektor pajak restoran menjadi sorotan pertama. Dari target Rp1,78 miliar, realisasi hanya Rp351,4 juta atau sekitar 19,74 persen. Sebaliknya, pajak jasa boga atau katering justru melampaui target hingga Rp1,52 miliar dari Rp400 juta atau 381 persen. Kesenjangan besar ini menimbulkan pertanyaan mengenai akurasi penetapan objek pajak dan mekanisme pemungutan di lapangan. Bila terdapat manipulasi omzet atau kelalaian dalam penarikan, hal tersebut dapat masuk ranah pelanggaran hukum administrasi perpajakan daerah," jelasnya.
Lebih lanjut Rahim menjabarkan Situasi serupa terjadi pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dari target Rp1,22 miliar, hanya Rp962 juta atau 78,91 persen yang berhasil masuk ke rekening resmi daerah.
'Dugaan lemahnya pengawasan terhadap penetapan nilai transaksi memperkuat kecurigaan adanya celah yang bisa dimanfaatkan untuk praktik penyimpangan. Jika nilai jual objek pajak sengaja dikecilkan, maka aparat pajak maupun pihak terkait bisa terjerat pasal penyalahgunaan wewenang atau tindak pidana korupsi karena mengakibatkan kerugian negara," kata Rahim.
Namun, temuan paling serius terjadi pada Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Di tujuh desa dan kelurahan, warga sudah membayar, tetapi setoran berhenti di tangan kolektor. Total dana yang tidak masuk ke Rekening Kas Umum Daerah tercatat Rp213,8 juta. Desa Era Baru di Kecamatan Tellulimpoe paling besar dengan Rp68,37 juta, disusul Talle Rp25,93 juta, Samaturue Rp25,58 juta, Aska Rp19,7 juta, serta sejumlah kelurahan di Sinjai Utara, termasuk Balangnipa. Praktik ini sangat rawan dijerat pasal penggelapan atau korupsi, sebab pajak yang telah dibayarkan wajib pajak adalah uang negara yang wajib masuk ke kas resmi.
“Uang ratusan juta rupiah yang hilang itu seharusnya kembali ke masyarakat dalam bentuk pembangunan. Kalau pemerintah abai, ini sama saja mengkhianati kepercayaan publik. Aparat penegak hukum tidak boleh diam,” tegas Rahim dalam pernyataannya.
Secara normatif, praktik menahan atau tidak menyetorkan pajak yang sudah dibayarkan dapat dijerat pasal penggelapan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Kejaksaan dan Kepolisian memiliki kewenangan penuh melakukan penyelidikan, apalagi kasus ini menyangkut kerugian keuangan negara yang nilainya signifikan.
Di sisi lain, pemerintah daerah mulai menyiapkan langkah administratif, seperti penyusunan rancangan Peraturan Bupati terkait dasar pengenaan air tanah, pembaruan basis data wajib pajak, serta pemanfaatan sistem pembayaran non-tunai melalui perbankan daerah. Namun langkah itu belum cukup menjawab desakan publik yang meminta penindakan hukum.
Kebocoran pajak daerah Sinjai tidak lagi bisa dianggap persoalan teknis, melainkan indikasi kuat pelanggaran hukum yang merugikan rakyat. Transparansi, pengawasan ketat, dan keberanian aparat hukum untuk menindak tegas para pelaku menjadi ujian serius bagi pemerintah daerah. Sinjai kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah berani menutup celah korupsi, atau membiarkan uang rakyat terus hilang di jalan.
Par