FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Demonstrasi: Antara Stigma Pengganggu dan Pilar Demokrasi


OPINI, Foxnesia.com – Demonstrasi bukanlah kejahatan. Ia lahir sebagai konsekuensi dari janji demokrasi yang gagal ditunaikan penguasa. Ketika parlemen sibuk bersandiwara dan kebijakan pemerintah lebih tunduk pada kepentingan elit ketimbang rakyat, jalanan menjadi ruang sidang paling jujur.

Namun, setiap kali massa turun, negara kerap merespons dengan wajah garang: gas air mata, pentungan, hingga intimidasi. Inikah demokrasi yang kita banggakan? Demokrasi yang justru menakuti rakyatnya sendiri. Sebab, lebih berbahaya dari keramaian demonstrasi adalah kekuasaan yang tuli. Membungkam protes sama saja dengan membunuh hak rakyat untuk mengoreksi negara.

Sayangnya, demonstrasi kini semakin dipandang negatif. Ia sering dianggap sekadar pengganggu karena identik dengan kemacetan dan kerusuhan. Padahal, penutupan jalan adalah strategi untuk menekan pemerintah agar sadar bahwa kebijakan yang dibuatnya menyengsarakan rakyat. Demonstrasi tidak pernah hadir tanpa sebab—ia adalah alarm bagi kekuasaan.

Jika dibandingkan dengan 1998, pergerakan hari ini tampak jauh berbeda. Kala itu, rakyat dan mahasiswa menyatu melawan rezim Orde Baru. Kini, aksi sering dicurigai berorientasi pada kepentingan segelintir orang. Minimnya konsolidasi, lemahnya sosialisasi isu, serta kurangnya pelibatan masyarakat sipil membuat tuntutan aksi tidak dipahami luas. Akibatnya, masyarakat lebih sering menyalahkan mahasiswa dan pemuda yang turun ke jalan.

Inilah refleksi yang mendesak. Jika tujuan besar ingin tercapai, mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil harus bersatu, saling mendukung, dan menyusun strategi bersama. Konsolidasi isu serta kajian yang matang wajib melibatkan semua elemen, agar stigma negatif terhadap demonstrasi bisa dihapus.

Sejarah Indonesia mencatat: dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, perubahan besar selalu lahir dari demonstrasi. Karena itu, ia harus dipandang sakral—pilar terakhir demokrasi yang mampu meruntuhkan rezim yang abai pada rakyat.

Memang, sebagian masyarakat menilai demonstrasi merugikan karena menimbulkan kemacetan. Tetapi di sisi lain, penggerak aksi juga punya kewajiban memberikan sosialisasi agar masyarakat memahami dan mendukung perjuangan mereka. Tanpa komunikasi, publik akan mudah terprovokasi untuk memusuhi gerakan rakyat sendiri.

Lebih berbahaya lagi adalah propaganda yang berusaha memecah belah. Dalam dunia demonstrasi, benturan bisa diciptakan bukan hanya antara aparat dan sipil, tetapi juga sesama warga. Di sinilah intelijen dan kepentingan politik bisa bermain. Rakyat perlu waspada, sebab sejarah menunjukkan, kekuasaan sering mempertahankan dirinya lewat politik adu domba.

Kita patut curiga: penguasa seolah membiarkan benturan antara aparat dan masyarakat, sementara mereka sendiri menonton dari kejauhan. Apakah ini strategi demi stabilitas politik elit? Atau cara mempertahankan kekuasaan di atas penderitaan rakyat?

Mari merenung bersama. Jangan sampai kita menjadi korban permainan segelintir orang yang tertawa di atas luka bangsa. Menjaga ruang demonstrasi berarti menjaga demokrasi itu sendiri.

Penulis : Wahid
Kader HMI Cabang Gowa Raya
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan