FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Api DPRD dan Jejak Aparat yang Hilang


OPINI, Foxnesia.com - Pembakaran gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan bukanlah peristiwa biasa. Ini bukan semata kerusuhan spontan, melainkan tragedi politik yang menyimpan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin dua simbol rakyat di level kota dan provinsi bisa rata dengan api dalam satu momentum?

Massa aksi kemarin pun tidak lebih besar daripada demonstrasi-demonstrasi sebelumnya. Justru jumlahnya relatif kecil. Namun, ironisnya, di saat aksi-aksi besar lalu aparat kepolisian selalu hadir penuh dengan tameng, kawat berduri, hingga gas air mata, kali ini pengamanan justru longgar. Pertanyaannya: kenapa pengawalan dibiarkan kosong? Apakah aparat sekadar lalai, atau memang sengaja menarik diri?

Ratusan miliar rupiah dari APBN dan APBD hangus terbakar. Uang rakyat yang mestinya dipakai membangun pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, hilang dalam satu malam akibat kelalaian atau mungkin kesengajaan. Dugaan publik pun menguat: jangan-jangan, api itu bukan hanya ulah massa, tapi juga “hadiah” dari aparat yang membiarkan gedung-gedung tersebut terbakar.

Indikasi ini makin jelas saat beredar massif status dan story dari anggota kepolisian di media sosial. Narasinya seragam: “Bagaimana rasanya satu hari tanpa kehadiran polisi.” Kalimat itu seperti ejekan, seolah memperlihatkan bahwa gedung DPRD kota dan provinsi terbakar justru karena polisi menarik diri. Kalau status itu benar adanya, maka Kapolda Sulsel dan Kapolrestabes Makassar wajib menjawab: apakah aparat memang disengaja absen agar api bisa bekerja?

Kedua pucuk pimpinan itu tidak bisa lagi bersembunyi di balik frasa “massa anarkis”. Faktanya, pembakaran gedung DPRD Kota Makassar dan DPRD Sulsel terjadi saat aparat memilih lengah atau sengaja melengahkan diri. Ini bukan sekadar kegagalan pengamanan, tetapi potensi rekayasa politik keamanan yang jauh lebih berbahaya.

Dalam teori keamanan klasik, negara hadir melalui aparatnya untuk memastikan monopoli kekerasan tetap berada di tangan institusi resmi. Ketika aparat justru absen dalam momentum krusial, maka negara seolah melepaskan perannya sendiri. Hilangnya aparat pada titik genting bisa dibaca sebagai bentuk state negligence (kelalaian negara) atau bahkan state orchestration (rekayasa negara) demi kepentingan politik tertentu.

Selain itu, fenomena ini menunjukkan adanya krisis legitimasi aparat di mata rakyat. Polisi bukan sekadar pelaksana keamanan, tapi juga simbol kehadiran negara. Ketika publik melihat aparat “hilang” di saat gedung DPRD terbakar, maka yang runtuh bukan hanya bangunan fisik, melainkan juga legitimasi moral dan kepercayaan rakyat. Dalam perspektif sosiologi politik, inilah yang disebut sebagai erosion of trust—kehilangan kepercayaan yang jauh lebih berbahaya dibanding kehilangan aset material.

Maka, pertanyaan publik tidak boleh dibungkam: siapa yang sebenarnya bermain dengan api ini? Jika aparat tak mampu memberi jawaban yang jernih, maka wajar bila rakyat menduga bahwa tragedi DPRD bukan semata kesalahan massa, melainkan kegagalan atau bahkan skenario dari mereka yang mestinya menjaga.

Sebagai mahasiswa dan bagian dari rakyat Sulawesi Selatan, saya melihat tragedi ini bukan hanya soal kelalaian teknis, tapi juga soal moralitas kepolisian. Selama ini, aparat begitu represif menghadapi mahasiswa, tetapi justru “tidak ada” ketika simbol rakyat dibakar. Ini paradoks yang menyakitkan sekaligus membuka ruang kecurigaan besar.

Saya percaya, publik berhak menuntut pertanggungjawaban moral dan politik Kapolda Sulsel serta Kapolrestabes Makassar. Jika tidak, maka api DPRD kemarin bukan hanya membakar gedung, tetapi juga membakar sisa-sisa kepercayaan rakyat kepada aparat penegak hukum.

Penulis : Mursil Aksam
Wakil Sekretaris Jenderal Dema UIN Alauddin Makassar 

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*

Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan