Perubahan Sosial Tanpa Darah, Jalan Demokrasi yang Seharusnya
Agustus 31, 2025
Akbar Aba |
OPINI, Foxnesia.com - Di Negeri yang kita cintai ini, kebebasan menyampaikan pendapat merupakan hak konstitusional yang dijamin undang-undang.
Namun, fakta di lapangan sering kali memperlihatkan betapa mudahnya ruang demokrasi berubah menjadi arena konflik ketika emosi menguasai nalar.
Aksi massa yang seharusnya menjadi sarana aspirasi justru kerap melahirkan korban, baik dari pihak masyarakat maupun aparat.
Pertanyaannya, apakah kita rela menjadikan perubahan sosial di Indonesia selalu berbayar dengan darah dan nyawa?
Namun, fakta di lapangan sering kali memperlihatkan betapa mudahnya ruang demokrasi berubah menjadi arena konflik ketika emosi menguasai nalar.
Aksi massa yang seharusnya menjadi sarana aspirasi justru kerap melahirkan korban, baik dari pihak masyarakat maupun aparat.
Pertanyaannya, apakah kita rela menjadikan perubahan sosial di Indonesia selalu berbayar dengan darah dan nyawa?
Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mengelola perbedaan secara dewasa.
Indonesia berdiri di atas fondasi gotong royong, musyawarah, dan persatuan. Nilai-nilai ini bukan sekadar slogan dalam Pancasila, melainkan etika berbangsa yang mestinya hadir di setiap ruang publik, termasuk ketika rakyat menuntut keadilan.
Sayangnya, dalam praktik, emosi sering kali menutupi kejernihan hati. Demonstrasi berubah ricuh, aparat terjebak dalam tindakan represif, dan masyarakat kehilangan rasa aman.
Indonesia berdiri di atas fondasi gotong royong, musyawarah, dan persatuan. Nilai-nilai ini bukan sekadar slogan dalam Pancasila, melainkan etika berbangsa yang mestinya hadir di setiap ruang publik, termasuk ketika rakyat menuntut keadilan.
Sayangnya, dalam praktik, emosi sering kali menutupi kejernihan hati. Demonstrasi berubah ricuh, aparat terjebak dalam tindakan represif, dan masyarakat kehilangan rasa aman.
Muhammadiyah dalam pernyataannya menekankan pentingnya menahan diri, menghentikan kekerasan, dan mencari solusi lewat dialog.
Seruan ini sangat relevan, bangsa ini tidak butuh lebih banyak luka, melainkan ruang bersama untuk merajut kembali persatuan. Jika perubahan hendak diwujudkan, maka ia harus lahir dari hati nurani, bukan amarah.
Emosi boleh hadir, sebab ia bagian dari kemanusiaan, namun jangan sampai menutup akal sehat dan nurani yang jernih.
Seruan ini sangat relevan, bangsa ini tidak butuh lebih banyak luka, melainkan ruang bersama untuk merajut kembali persatuan. Jika perubahan hendak diwujudkan, maka ia harus lahir dari hati nurani, bukan amarah.
Emosi boleh hadir, sebab ia bagian dari kemanusiaan, namun jangan sampai menutup akal sehat dan nurani yang jernih.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan?
Pertama, masyarakat perlu memandang aksi massa bukan sebagai ajang konfrontasi, melainkan kanal komunikasi. Penyampaian aspirasi seyogianya dilakukan dengan tertib, argumentatif, dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi simpang siur, terutama dari media sosial.
Literasi digital dan sikap kritis menjadi modal utama agar kita tidak terjebak dalam arus hoaks yang kerap memicu kekacauan.
Literasi digital dan sikap kritis menjadi modal utama agar kita tidak terjebak dalam arus hoaks yang kerap memicu kekacauan.
Kedua, aparat negara harus menempatkan diri sebagai pengayom, bukan lawan. Tugas utama aparat adalah melindungi rakyat, termasuk mereka yang menyuarakan ketidakpuasan.
Pendekatan persuasif, dialogis, dan non-kekerasan bukan tanda kelemahan, melainkan wujud kedewasaan demokrasi. Kekerasan yang lahir dari aparatur hanya akan memperpanjang jurang ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Pendekatan persuasif, dialogis, dan non-kekerasan bukan tanda kelemahan, melainkan wujud kedewasaan demokrasi. Kekerasan yang lahir dari aparatur hanya akan memperpanjang jurang ketidakpercayaan publik terhadap negara.
Ketiga, para elit politik dan pengambil kebijakan semestinya berperan sebagai teladan moral. Kebijakan yang lahir dari ruang kekuasaan harus mencerminkan empati, kesederhanaan, dan keberpihakan pada rakyat.
Ketika kebijakan justru melukai hati masyarakat, maka wajar jika lahir kekecewaan yang berujung pada aksi protes. Oleh sebab itu, introspeksi dan kepekaan sosial mutlak dimiliki setiap pemimpin.
Ketika kebijakan justru melukai hati masyarakat, maka wajar jika lahir kekecewaan yang berujung pada aksi protes. Oleh sebab itu, introspeksi dan kepekaan sosial mutlak dimiliki setiap pemimpin.
Keempat, kita sebagai warga bangsa harus sadar bahwa perdamaian bukan hadiah, melainkan hasil dari komitmen bersama. Tidak ada pihak luar yang bisa menjaga ketertiban negeri ini selain rakyatnya sendiri.
Solidaritas sosial, kepedulian pada sesama, dan sikap menolak kekerasan perlu ditumbuhkan sejak lingkungan terkecil, keluarga, sekolah dan komunitas.
Solidaritas sosial, kepedulian pada sesama, dan sikap menolak kekerasan perlu ditumbuhkan sejak lingkungan terkecil, keluarga, sekolah dan komunitas.
Dalam konteks pembangunan bangsa, pertanyaan yang layak kita renungkan bersama adalah apakah mungkin Indonesia menjadi lebih baik tanpa ada korban di dalamnya? Jawabannya tentu bisa, asalkan perubahan dijalankan dengan hati nurani.
Perubahan sejati bukan lahir dari amarah yang membakar, melainkan dari kesadaran kolektif untuk menegakkan keadilan, menebarkan kasih sayang, dan menjaga kehidupan sesama manusia.
Di tengah dinamika dunia yang penuh konflik, Indonesia masih memiliki modal besar, persatuan dan kedamaian. Modal ini jangan kita sia-siakan.
Jika bangsa lain hancur karena perang saudara dan krisis politik, maka tugas kita adalah membuktikan bahwa demokrasi bisa berjalan tanpa harus mengorbankan jiwa.
Menjaga perdamaian bukan sekadar pilihan moral, melainkan keharusan konstitusional dan kemanusiaan. Setiap tetes darah yang tumpah adalah kegagalan kita bersama.
Maka marilah kita jaga negeri ini dengan hati nurani, akal sehat, dan kasih sayang. Indonesia tidak akan maju dengan korban, melainkan dengan cinta yang kita rajut bersama.
Penulis: Akbar Aba
(Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Unismuh Makassar)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis