Lomba Kerupuk VS Perjuangan : Apakah Kita Lupa Makna Kemerdekaan ?
Agustus 18, 2025
| Akbar Aba |
OPINI, Foxnesia.com - "Kemerdekaan bukan untuk hura-hura, melainkan kesempatan bekerja untuk mencapai keadilan sosial," ujar Mohammad Hatta.
Euforia Seremonial
Setiap tanggal 17 Agustus, Indonesia larut dalam gegap gempita. Lomba makan kerupuk, tarik tambang, panjat pinang, hingga pesta rakyat seolah menjadi tradisi wajib yang tak boleh terlewat.
Spanduk dan panggung hiburan berdiri di setiap sudut kota, menandai betapa bangsa ini mampu bersatu dalam perayaan.
Namun, pertanyaan mendasar pun muncul, apakah kemeriahan itu sungguh mencerminkan nilai kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah para pahlawan?
Data Kementerian Dalam Negeri (2023) mencatat, lebih dari 60% daerah mengalokasikan anggaran khusus untuk perayaan 17 Agustus. Dari satu sisi, langkah ini mencerminkan komitmen menjaga tradisi.
Namun, dari sisi lain, ia menampakkan gejala kehilangan substansi. Kemerdekaan dipahami sebatas seremoni tahunan, bukan refleksi perjuangan.
Kesenjangan Makna
Riset LIPI (2021) menegaskan hanya 37% generasi muda yang memahami makna filosofis proklamasi. Sebagian besar lainnya lebih mengaitkan 17 Agustus dengan lomba, pawai, atau sekadar hari libur.
Fakta ini menunjukkan kesenjangan serius antara simbol dan substansi. Kita terjebak dalam pesta, namun gagal menanamkan kesadaran bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang dibayar mahal.
Ironisnya, pola ini bukan hal baru. Sejarah mencatat, kolonial Belanda kerap menggelar pesta rakyat untuk mengalihkan perhatian pribumi dari ketidakadilan.
Kini, meski kita telah merdeka delapan dekade, pola serupa berulang. Kita bangga pada euforia, tetapi lalai memaknai inti kemerdekaan, perjuangan melawan penindasan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Kemerdekaan yang Belum Usai
Indonesia memang telah merdeka secara politik. Namun, apakah kita sungguh merdeka dari kemiskinan, kebodohan, dan korupsi? Data BPS (2024) menunjukkan tingkat kemiskinan masih 9,36%.
Transparency International (2023) menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Angka-angka ini mengingatkan kemerdekaan belum tuntas.
Maka, jika 17 Agustus hanya dimaknai sebagai pesta rakyat tanpa refleksi, kita sedang mengulang pola lama merayakan kemerdekaan tanpa benar-benar mengisinya.
Mengembalikan Substansi
Perayaan tentu tak perlu dihapus. Namun, kita perlu mengembalikan ruhnya. Lomba atau karnaval tetap bisa berjalan, tetapi harus diimbangi ruang refleksi, seminar, diskusi sejarah, atau karya kreatif generasi muda yang menumbuhkan kesadaran kebangsaan.
Menghormati pahlawan pun tak cukup dengan mengheningkan cipta. Itu berarti melanjutkan perjuangan mereka melawan korupsi, menegakkan keadilan, menjaga persatuan, dan bekerja dengan sungguh di bidang masing-masing.
Ukuran kemerdekaan seharusnya dilihat dari sejauh mana kita mampu mengurangi kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan, serta memperkuat karakter bangsa.
Refleksi
Kita semua punya peran penting menjaga arti kemerdekaan. Kalau 17 Agustus hanya dimaknai sebagai lomba atau pesta, maka tujuan bangsa ini bisa kabur.
Tapi kalau kita sadar bahwa kebebasan hari ini adalah hasil pengorbanan para pahlawan, Indonesia masih punya harapan besar.
Kemerdekaan bukan sekadar acara tahunan. Ia harus jadi semangat bersama untuk bekerja nyata. Pertanyaan pentingnya: apakah kita hanya merdeka di atas panggung perayaan, atau benar-benar merdeka dalam kehidupan sehari-hari sebagai bangsa?
Penulis : Akbar Aba, S.Pd., M.Ed
(Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Unismuh Makassar)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis