FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Aspirasi Rakyat yang Terkubur di Balik Asap dan Luka



OPINI, Foxnesia.com - Beberapa hari terakhir, Makassar menjadi saksi rentetan aksi demonstrasi besar yang mengguncang publik. 

Jalan-jalan kota dipenuhi suara tuntutan rakyat, mulai dari buruh yang memperjuangkan upah layak, mahasiswa yang menolak kebijakan tidak berpihak, hingga warga kecil yang meminta keadilan dan lingkungan hidup yang sehat. 

Namun, di balik teriakan dan poster-poster protes itu, tragedi kemanusiaan justru menjadi headline. 

Seorang pengemudi ojek online tewas tragis dilindas kendaraan, sementara kantor DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan terbakar. Aksi yang awalnya dimaksudkan untuk menyuarakan kebenaran berubah menjadi catatan luka.

Demonstrasi adalah hak konstitusional. Ia adalah napas demokrasi. Namun, kita seakan lupa bahwa hak ini seharusnya dijalankan dengan kesadaran, bukan kemarahan. 

Peristiwa nahas yang merenggut nyawa rakyat kecil menggambarkan betapa mudahnya aspirasi kehilangan makna ketika kekerasan menjadi panggung utama. 

Dalam kericuhan, pesan-pesan rakyat tentang keadilan, kesejahteraan, dan transparansi anggaran perlahan terkubur di balik asap dan berita sensasional.

Aspirasi para demonstran sejatinya mencerminkan keresahan kolektif bangsa ini. Buruh menuntut perlindungan kerja yang layak, penghapusan outsourcing, serta kepastian hukum yang memihak. 

Mahasiswa turun ke jalan untuk menolak kebijakan efisiensi anggaran yang dinilai tak berpihak, menuntut pendidikan gratis, menolak dwifungsi ABRI, serta menyoroti represifitas aparat. 

Warga sipil pun mengeluhkan masalah yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari: pencemaran lingkungan, intimidasi, dan pengelolaan pemerintahan lokal yang tidak transparan. 

Semua itu adalah jeritan hati yang nyata, bukan sekadar isu politik. Namun, kekerasan dan anarki hanya mengubur pesan itu lebih dalam. 

Pembakaran kantor DPRD, yang seharusnya menjadi simbol rumah rakyat, bukanlah jawaban. 

Ia justru mencoreng perjuangan itu sendiri dan membuat publik semakin jauh dari substansi tuntutan. 

Kita harus jujur mengakui bahwa aksi yang berubah menjadi ricuh hanya memperkuat stigma negatif terhadap gerakan rakyat, sekaligus memperlemah daya tawarnya di hadapan pemerintah.

Tanggung jawab tentu tidak hanya ada di pundak massa aksi. Aparat keamanan dan pemerintah juga memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan demonstrasi berlangsung aman. 

Penegakan hukum harus tegas namun tidak represif; dialog harus dibuka selebar mungkin agar aspirasi tidak tertahan di jalanan. Jika suara rakyat tidak pernah didengar, siklus kemarahan akan terus berulang.

Tragedi ini adalah cermin bagi kita semua: betapa mahalnya harga sebuah suara ketika ia disampaikan dengan darah dan api. 

Mahasiswa, buruh, warga sipil, dan seluruh elemen bangsa harus mengembalikan hakikat demokrasi sebagai ruang dialog, bukan medan perang. Perubahan sejati lahir dari kesadaran bersama, bukan dari dendam.

Makassar tidak boleh terus dikenal sebagai kota yang terbakar oleh kemarahan. Kita harus menjadikannya kota yang membuka ruang bagi aspirasi dengan bermartabat. 

Saatnya kita semua, dari masyarakat biasa hingga pengambil kebijakan, menahan diri dan menolak kekerasan dalam bentuk apa pun. 

Hak bersuara harus selalu sejalan dengan tanggung jawab menjaga kehidupan dan kemanusiaan.

Penulis : Fitria Yasin
(Kabid SPMK PC IMM Maros)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan