Dosen Fobia Nalar Kritis Mahasiswa : Teror Kuasa di Kampus yang Mengklaim Peradaban
Juli 03, 2025
OPINI, Foxnesia.com - “Saya yang kasih nilai, kalian yang butuh saya.” Kalimat ini tidak hanya menyayat logika, tetapi juga menelanjangi wajah asli relasi kuasa di ruang kelas.
Bukan sekadar pernyataan arogan, ia adalah bentuk represi intelektual yang menjadikan ruang akademik sebagai ladang penjinakan, bukan pembebasan.
Maka dari itu, tulisan ini bukan sekadar opini, ini adalah perlawanan. Fenomena seperti ini bukan peristiwa tunggal. Ini bukan hanya tentang satu dosen, satu kelas, atau satu fakultas.
Ini adalah pola yang berulang, sistemik dan menjalar di berbagai kampus di Indonesia. Apa yang terjadi di satu universitas, bisa jadi gema dari yang juga terjadi di tempat lain.
Mahasiswa dari berbagai wilayah melaporkan pola represi serupa: dibungkam, ditekan, diancam, bahkan dihukum secara akademik karena keberanian berpikir.
Di balik jargon “kampus merdeka” dan “kampus peradaban”, justru berdiri institusi pendidikan tinggi yang alergi terhadap kritik dan perbedaan.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang emansipasi, tempat nalar kritis tumbuh subur, kini justru menjadi institusi yang membunuh keberanian berpikir berbeda. Mahasiswa dilatih untuk patuh, bukan berpikir.
Menurut Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membuka ruang bagi peserta didik untuk menjadi subjek, bukan objek.
Namun yang terjadi di banyak ruang kelas saat ini adalah banking education, di mana dosen menjadi otoritas tunggal, dan mahasiswa sekadar wadah pasif yang diisi. Model ini bukan hanya usang, ia mematikan.
Ironisnya, ini terjadi bahkan di fakultas-fakultas humaniora yang seharusnya menjadi ruang bagi perdebatan filsafat, kritik sosial, dan ekspresi ide.
Tetapi yang kami temukan : ketika mahasiswa mengajukan pandangan berbeda, bukan argumen yang mereka dapat, melainkan intimidasi bahkan serangan personal.
Dosen menjelma jadi polisi kebenaran. Kami hanya bisa diam, karena kami tahu, nilai ada di tangannya.
Pernyataan “kalian yang butuh saya” menjadi simbol dari relasi kuasa yang timpang dalam dunia akademik. Seolah mahasiswa tak lain hanyalah anak tangga untuk menaikkan otoritas dosen, bukan mitra belajar dalam atmosfer yang dialogis.
Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh Noam Chomsky, institusi pendidikan seharusnya mencetak individu yang berpikir kritis, bukan yang hanya tunduk pada otoritas.
Dalam banyak kasus, “nilai” digunakan sebagai alat represi. Ia kehilangan makna ilmiahnya, dan berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Mahasiswa takut bersuara karena khawatir dibalas dengan penilaian rendah, pemotongan kehadiran, atau stigma “bermasalah”. Semua ini menjadikan pendidikan tinggi kita sebagai sistem yang justru menormalisasi ketakutan.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi memang menjamin kebebasan akademik. Tapi dalam realitas, itu hanya slogan kosong yang terpajang manis di dinding birokrasi, tanpa pernah benar-benar diterapkan.
Jika ketakutan sudah menjadi kurikulum tak tertulis, maka kita tidak sedang mendidik, tetapi mengkondisikan. Kita sedang mencetak manusia-manusia jinak, yang kehilangan keberanian bertanya dan kemampuan menggugat.
Apakah kampus seperti ini yang kita banggakan sebagai kampus peradaban? Apakah peradaban memang dibangun di atas ketakutan?
Maka tulisan ini adalah bentuk gugatan kolektif. Ia berbicara untuk semua mahasiswa yang pernah diam karena takut. Ia adalah pengingat bahwa diam kita hari ini adalah harga yang harus dibayar mahal oleh generasi selanjutnya.
Kampus tidak boleh dibiarkan menjadi penjara pikiran. Ia harus dikembalikan menjadi ruang perlawanan intelektual. Sebab jika kita tidak melawan, maka kita sedang mendidik generasi untuk tunduk.
Penulis : Saldiansyah Rusli
(Ketua Umum Dewan Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis