Dari Lab ke Senayan : Mengapa Mahasiswa Non-FISIP Tak Boleh Apolitik
Mei 22, 2025
OPINI, Foxnesia.com - Ketika mahasiswa kedokteran di Taiwan berhasil mengorganisir protes damai yang mengubah kebijakan kesehatan nasional, atau ketika mahasiswa teknik di Korea Selatan memimpin gerakan anti-korupsi yang meruntuhkan rezim, kita melihat bukti nyata : politik bukan milik eksklusif fakultas tertentu.
Di Indonesia, ironisnya masih banyak yang percaya bahwa mahasiswa teknik cukup fokus pada rumus mahasiswa kedokteran cukup hafal anatomi dan mahasiswa pertanian cukup mengerti tanaman.
Seolah-olah profesi mereka kelak akan terpisah dari realitas politik yang menentukan anggaran riset, regulasi industri, dan kebijakan publik yang langsung memengaruhi pekerjaan mereka.
Siapa bilang mahasiswa teknik, kedokteran, atau pertanian tak perlu paham politik? Anggapan bahwa pendidikan politik hanya milik mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sudah saatnya dirombak total.
Realitas menunjukkan bahwa masa depan bangsa justru ditentukan oleh kemampuan seluruh elemen masyarakat termasuk para calon insinyur, dokter, dan ahli pertanian dalam memahami dinamika politik dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan berdemokrasi.
Menurut teori Klasik Aristoteles, Politik ialah usaha yang ditempuh warga Negara untuk kebaikan bersama.
Mengapa ini penting?
Indonesia di era digital menghadapi tantangan besar : hoaks politik yang merajalela, polarisasi yang semakin tajam, dan generasi muda yang mudah terprovokasi informasi tanpa verifikasi.
Mahasiswa non-FISIP, yang kelak akan menjadi pemimpin di berbagai sektor, tidak bisa lagi berpura-pura buta politik. Mereka adalah kunci masa depan bangsa yang demokratis dan bermartabat.
Penelitian di Universitas Muhammadiyah Makassar, mengungkap fakta menarik: meski mahasiswa non-FISIP memiliki semangat untuk terlibat dalam pendidikan politik, pemahaman mereka masih terbatas pada konsep dasar seperti pemilu dan demokrasi prosedural. Inilah celah yang harus segera ditutup.
Organisasi kemahasiswaan harus merevolusi kurikulum kaderisasi mereka. Tidak cukup hanya mengajarkan struktur organisasi dan tata cara rapat. Materi anti-korupsi, analisis kebijakan publik, dan pemahaman konstitusi harus menjadi menu wajib.
Mahasiswa harus merasakan demokrasi, bukan hanya mendengarnya. Organisasi kemahasiswaan perlu menciptakan ruang-ruang diskusi yang aman, di mana mahasiswa bisa memperdebatkan isu-isu kontroversial tanpa takut dikucilkan.
Pelatihan kepemimpinan, simulasi pengambilan keputusan publik, dan dialog lintas fakultas harus menjadi agenda rutin.
Era digital arena baru politik.
Mahasiswa harus dibekali kemampuan membedakan informasi valid dari hoaks, memahami algoritma media sosial yang membentuk opini, dan menggunakan platform digital untuk advokasi positif.
Kampanye #IndonesiaGelap contoh bagus pemanfaatan media digital untuk edukasi politik.
Tantangan yang harus dihadapi
tidak mudah mengubah mindset bahwa “politik itu kotor” atau “bukan urusan kita”.
Masih banyak mahasiswa yang menganggap politik sebagai permainan elit yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Belum lagi resistensi dari sebagian dosen dan birokrasi kampus yang masih menganut paradigma lama.
Keterbatasan sumber daya juga menjadi kendala. Tidak semua organisasi kemahasiswaan memiliki akses ke narasumber kompeten atau dana untuk mengadakan program pendidikan politik yang berkualitas.
Solusi Konstruktif : Empat Langkah Konkret
1. Kolaborasi Lintas Fakultas
Organisasi kemahasiswaan FISIP harus menjadi mentor bagi organisasi non-FISIP. Buat program pertukaran pemikiran, joint seminar, dan workshop bersama. Mahasiswa teknik bisa belajar analisis politik, sementara mahasiswa FISIP belajar aplikasi teknologi untuk kampanye politik.
2. Kurikulum Terintegrasi
Kampus perlu mengintegrasikan pendidikan politik dalam mata kuliah umum seperti Pancasila dan Kewarganegaraan. Jangan lagi mengajarkan teori kering, tapi ajak mahasiswa menganalisis kasus nyata dan mencari solusi praktis.
3. Digitalisasi edukasi politik
Manfaatkan teknologi untuk membuat konten edukasi politik yang menarik: podcast, infografis, video pendek, dan game interaktif. Generasi Z dan Alpha lebih mudah menerima informasi dalam format yang visual dan interaktif.
4. Kemitraan Strategis
Jalin kerja sama dengan media, LSM, dan lembaga pemerintah untuk memperkaya sumber belajar. Undang praktisi politik, jurnalis investigasi, dan aktivis anti-korupsi sebagai pembicara regular.
Bayangkan Indonesia di tahun 2045: negara dengan generasi pemimpin yang tidak hanya cerdas secara teknis, tapi juga melek politik dan berintegritas.
Dokter yang paham kebijakan kesehatan publik, insinyur yang memahami politik lingkungan, guru yang bisa menganalisis kebijakan pendidikan. Inilah yang bisa dicapai jika kita mulai serius dengan pendidikan politik di kalangan mahasiswa non-FISIP hari ini.
Mereka bukan hanya calon profesional, tapi calon pemimpin bangsa yang akan menentukan arah Indonesia di masa depan.
Politik terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada politisi. Mahasiswa dari semua disiplin ilmu harus terlibat, karena merekalah yang akan memimpin Indonesia di masa depan.
Penulis: Yektie Nurprayoga LM. (Mahasiswa Pascasarjana Univeritas Negeri Padang)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis