FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Ketika Demokrasi Dibelenggu atas Nama Stabilitas Nasional


OPINI, Foxnesia.com - Negeri ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena rakyat berhenti bicara, tetapi karena setiap kata kini menunggu izin untuk keluar.

Di layar ponsel, opini tak lagi bebas mengalir akan tetapi harus melewati pagar besi bernama “stabilitas nasional”, dijaga oleh algoritma yang berwajah militer.

Sejak Kabinet Merah Putih dibentuk, derap sepatu bot semakin sering terdengar di ruang-ruang sipil.

Posisi strategis dari pertahanan, keamanan, hingga komunikasi dan digital kini lebih banyak diisi oleh mereka yang lahir dari barak, bukan dari ruang diskusi.

Dan pelan-pelan, batas antara penjaga negara dan penguasa rakyat mulai kabur. Kekuatan militer yang seharusnya menjaga batas wilayah kini turut menjaga batas bicara.

Ruang publik digital yang dulu menjadi wadah kebebasan, kini berubah menjadi labirin pengawasan di mana setiap suara kritis bisa dicap sebagai ancaman terhadap negara. 

Patroli digital berjalan tanpa seragam, tanpa mandat publik, namun dengan legitimasi yang dibungkus istilah “keamanan nasional.”

Dalam logika besi pemerintahan seperti ini, demokrasi kehilangan bentuknya. Ia masih disebut, tapi tak lagi dirasakan. Di atas kertas, Indonesia tampak tegap, penuh disiplin, dan “nasionalis.”

Namun di bawahnya, fondasi sipil mulai retak  kontrol publik melemah, checks and balances terancam, dan lembaga-lembaga sipil kehilangan keberanian untuk menegur.

Negara tampak gagah di luar, tapi rapuh di dalam. Karena kekuatan sejati bukan diukur dari berapa banyak seragam di kursi kekuasaan, melainkan dari keberanian mendengar suara rakyat. 

Dan kini, suara itu makin pelan  bukan karena tak ada yang berbicara, tapi karena setiap kata bisa menjadi peluru yang berbalik menghantam pengucapnya.

Asia Pacific Solidarity pernah memperingatkan: operasi informasi oleh aparat militer di ruang digital dapat menekan ekspresi masyarakat dan mengaburkan batas antara pertahanan dan propaganda.

Kini, peringatan itu bukan lagi teori. Ia telah menjelma menjadi kenyataan yang kita hirup setiap hari.

Media sosial yang dahulu menjadi wajah kebebasan kini bertransformasi menjadi ruang sunyi penuh sensor tak kasat mata. 

Ketika rakyat mulai terbiasa untuk diam, demokrasi pun mati ,bukan oleh peluru tapi oleh ketakutan yang dibungkus rapi dalam slogan “demi stabilitas nasional.”

Dan ketika demokrasi mati, bangsa kehilangan arah, karena kekuasaan tanpa legitimasi sipil hanyalah bayangan kekuatan yang menipu mata. 

Kabinet yang dipenuhi aparat mungkin terlihat solid, namun di balik keseragaman itu tersembunyi bahaya yang jauh lebih besar: hilangnya keberagaman pikiran serta denyut nadi dari demokrasi itu sendiri.

Sebab kekuatan sejati tidak lahir dari kendali total, tetapi dari keberanian membiarkan rakyat berbeda pendapat.

Indonesia tidak sedang melemah karena musuh di luar, tetapi karena ketidakseimbangan di dalam.

Ketika kursi kekuasaan lebih banyak diisi oleh seragam daripada pikiran, maka republik ini tidak sedang diperkuat, melainkan dipasung.

Negara yang terlalu sibuk menjaga keseragaman akan lupa bahwa keberagamanlah yang membuatnya hidup.

Dan bila kebebasan berbicara terus dibungkam, maka yang tinggal hanyalah tubuh tanpa jiwa Indonesia yang tampak berdiri tegak, namun di dalamnya demokrasi telah lama rebah.

Penulis : Ahmadi Gardi 
(Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis


Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan