FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Maaf yang Menyuburkan Penyimpangan : Tafsir Baru atas Etika Kampus ?



OPINI, Foxnesia.com - Dalam etika sosial yang luhur, memaafkan adalah bentuk tertinggi dari kematangan moral. Ia adalah cermin jiwa besar yang menolak membalas kesalahan dengan kebencian. 

Namun, dalam sudut ruang-ruang akademik yang mengatasnamakan nilai-nilai Islam berkemajuan, "maaf" mulai kehilangan makna spiritualnya. 

Ia menjelma menjadi alat politis yang mensterilkan koreksi, sekaligus pupuk yang menyuburkan penyimpangan kekuasaan.

Sebagai kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, organisasi yang lahir dari rahim tajdid serta berakar kuat pada nilai amar makruf nahi mungkar, saya merasa bertanggung jawab secara moral untuk menyuarakan kegelisahan yang tengah berdenyut di tubuh kampus kita. 

Belakangan ini, publik internal dikejutkan oleh temuan yang tidak biasa terkait pengelolaan hak-hak mahasiswa. 

Hasil audit internal menunjukkan adanya alur yang tidak transparan dan penyalahgunaan wewenang dalam distribusi bantuan pendidikan, dengan sejumlah ketidaksesuaian yang mengundang tanya. 

Investigasi telah dilakukan, indikasi penyimpangan pun muncul ke permukaan. Namun yang mengecewakan, alih-alih direspons dengan tindakan tegas, kasus ini justru menguap begitu saja tanpa kejelasan. 

Belum ada sanksi formal, tak ada langkah evaluatif yang terbuka. Yang hadir justru adalah narasi yang seolah ingin memaklumi keadaan¸ atau mungkin lebih tepatnya, memberi maaf karena pelaku adalah orang yang berada dilingkaran pimpinan tinggi.

Di sinilah integritas diuji. Rektor, sebagai pucuk pimpinan, mestinya berdiri paling depan dalam menegakkan nilai-nilai keadilan dan akuntabilitas. Namun dalam kasus ini, sikap yang diambil justru membisu. 

Ketegasan yang diharapkan tak kunjung terlihat. Padahal, diam dalam ketidakadilan bukanlah netralitas, ia adalah keberpihakan yang halus tapi nyata.

Dan di kampus yang dibangun atas nama pencerahan, pembiaran seperti ini bukan hanya mencederai etika kelembagaan, tapi juga melemahkan kepercayaan mahasiswa terhadap kepemimpinan moral yang seharusnya menjadi panutan
Dan dilain hal, dan yang lebih mengkhawatirkan dari semua ini adalah bagaimana kasus-kasus serupa bisa menciptakan iklim ketakutan dalam ruang kampus. 

Mahasiswa merasa tidak aman untuk bersuara, dosen enggan menyentuh isu-isu sensitif, dan aktivisme perlahan kehilangan taringnya. 

Di kampus yang seharusnya menjadi taman kebebasan berpikir dan berpendapat, justru tumbuh benih-benih autocensorship yang berbahaya. 

Banyak yang tahu ada yang salah, tapi terlalu sedikit yang berani bersuara, dan menghentikan penyimpangan-penyimpangan itu. 

Kalau hari ini kita membiarkan penyimpangan berlalu karena dibungkam oleh sikap apatis dan ketidakpedulian kolektif, maka jangan heran jika suatu saat kampus ini tidak lagi menjadi tempat lahirnya para pembaharu, melainkan tempat tumbuhnya para penjaga stagnasi. 

Sebab ketika kebenaran tak lagi diperjuangkan, dan suara-suara kritis dipadamkan oleh kenyamanan semu, maka integritas hanya akan jadi jargon dalam papan visi. 

Kita tidak sedang menjaga marwah institusi jika kita membiarkan kebenaran dilupakan; justru dengan keberanian membuka luka, kita sedang merawat masa depan kampus agar tetap sehat dan layak dihuni oleh nurani. 

Karena kampus sejatinya bukan sekadar ruang kuliah dan gedung tinggi, melainkan ruang tumbuhnya akal sehat dan keberanian moral, yang harus terus dijaga dari pembusukan yang lahir dari diam dan pembiaran.

Ini bukan sekadar soal teknis tata kelola. Ini soal etika keilmuan, keberanian moral, dan keberpihakan institusi pada nilai-nilai dasar Muhammadiyah itu sendiri.

Tentu, kita semua diajarkan untuk husnudzan. Tapi husnudzan yang melumpuhkan kewaspadaan etis hanya akan melahirkan generasi yang pandai memaafkan kekuasaan, tapi kaku menegur penyimpangan. 

Sebagai kader IMM, saya meyakini bahwa amar makruf bukanlah seremoni simbolik; ia adalah keberanian untuk menegakkan nilai, bahkan ketika nilai itu harus berdiri berhadapan dengan “keluarga sendiri”.

Bagaimana mungkin sebuah kampus yang dibangun atas dasar kepercayaan umat, amal usaha, dan nilai dakwah membiarkan kasus seperti ini berlalu tanpa koreksi struktural? Di sisi lain, mahasiswa dituntut untuk selalu menyampaikan dan mensosialisasikan kampus seolah sedang dalam keadaan terbaik.

Jika kampus tak berani bertindak tegas terhadap penyimpangan internal, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi institusi, tapi juga martabat kaderisasi dan semangat pembaruan yang telah diwariskan oleh para pendiri persyarikatan.

Kami bukan ingin mengobarkan polemik. Kami hanya ingin kampus ini kembali pada ruhnya, sebuah institusi pendidikan yang bukan hanya mengajarkan nilai, tapi juga menegakkannya. 

Pemaafan memang mulia. Tapi ketika ia menjadi alat untuk menutup-nutupi kekeliruan struktural, maka yang lahir adalah patologi budaya diam. Dan budaya diam adalah lawan dari gerakan.

Kami tidak diajarkan untuk diam. Kami dididik untuk berpikir kritis, berjuang dalam garis intelektual, dan membela kebenaran, meski itu berarti menegur rumah sendiri. 

Karena cinta yang sejati bukan yang memuja dalam diam, tapi yang berani memperbaiki dalam terang.

Hari ini kita mungkin memilih diam demi kenyamanan. Tapi sejarah tidak pernah menulis diam sebagai bentuk keberanian. 

Akar yang membusuk pelan-pelan di bawah tanah, suatu hari bisa merobohkan pohon paling rindang sekalipun dan waktu tidak pernah memberi maaf.

Penulis : Aditya Yusriadi
(Praktisi Pendidikan)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan