FOXLINE NEWS
Mode Gelap
Artikel teks besar

Label Kota Terintoleran : Aib atau Alarm bagi Parepare?

                          Rendi Pangalila

OPINI, Foxnesia.com - Di balik gemuruh ombak yang memukul pesisir barat Sulawesi Selatan, berdirilah sebuah kota pelabuhan yang dahulu dipuja karena pesonanya, Parepare. 

Letaknya yang strategis di tepi Teluk Bone menjadikannya simpul perdagangan penting, sekaligus persinggahan berbagai etnis dan budaya. 

Kota ini bukan hanya soal pelabuhan dan aktivitas ekonomi, tetapi juga tentang keberagaman yang hidup berdampingan. 

Maka tak heran jika Parepare selama ini dikenal sebagai salah satu wajah kemajemukan di Sulawesi.

Lebih dari sekadar kota pelabuhan, Parepare membawa julukan istimewa yang melekat erat di hati warganya : "Kota Cinta", Julukan ini bukan tanpa alasan. 

Di sinilah, Presiden ketiga Republik Indonesia, BJ Habibie, dilahirkan. Kisah cintanya yang legendaris bersama sang istri, Ainun, telah menjadi simbol kasih yang melampaui sekat waktu dan perbedaan. 

Pemerintah bahkan mengabadikan kisah mereka dalam bentuk monumen, menjadikan cinta sebagai narasi publik. 

Cinta di sini semestinya tak hanya soal asmara, tapi juga soal kepedulian, penerimaan, dan toleransi.

Namun, langit cerah itu tiba-tiba mendung. Pada tahun 2025, publik dikejutkan oleh temuan Setara Institute, yang menempatkan Parepare sebagai kota paling intoleran nomor satu di Indonesia dalam laporan Indeks Kota Toleran 2024. 

Skornya mencengangkan, hanya 3,945, paling rendah dari seluruh kota yang dievaluasi dan menjadikan kota Parepare diposisi teratas sebagai kota terintoleran di Indonesia. 

Tak lagi sekadar titik dalam grafik, data ini menjadi pukulan telak yang mengguncang identitas kota. Di tengah sorotan media nasional, nama Parepare muncul sebagai wajah baru intoleransi. 

Ironi ini menyakitkan : kota yang membanggakan cinta, kini dikaitkan dengan kebencian dan penolakan terhadap perbedaan. 

Bahkan Wali Kota sendiri mengaku bingung, seolah tak sadar bahwa sikap diam selama ini perlahan-lahan menjadi pangkal luka.

Apa yang membuat Parepare terjerembab dalam jurang intoleransi? Jawabannya kompleks, tapi jelas. Salah satu penyebab utamanya adalah menguatnya arus konservatisme keagamaan yang tidak dibarengi dengan literasi toleransi. 

Di ruang kelas, nilai-nilai kebinekaan semakin kabur. Di media sosial, narasi sempit tentang kebenaran tunggal terus disebar tanpa tandingan. 

Dan yang paling fatal, banyak kasus intoleransi yang tidak disikapi tegas oleh pemerintah setempat, sehingga memberikan pesan diam bahwa diskriminasi bisa terjadi tanpa konsekuensi.

Kisah nyata yang menjadi sorotan datang dari dunia pendidikan. Pada 14 Februari 2023, sebuah sekolah swasta bernama SD Kristen Pelita Hati dilarang menyelenggarakan perayaan Paskah. 

Alasannya? Peraturan lokal yang membatasi aktivitas keagamaan non-Muslim di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah tersebut secara hukum berhak melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya. 

Insiden ini bukan hanya diskriminatif, tetapi juga memperlihatkan bagaimana institusi pendidikan bisa tunduk pada tekanan mayoritas. 

Belum reda luka itu, pada 22 Juli 2024, warga menolak pembangunan sebuah gereja di kawasan Batangkaluku, meskipun semua izin telah lengkap. 

Penolakan disertai desakan agar pembangunan dihentikan demi ketertiban warga. Dua peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa toleransi di Parepare bukan hanya terancam, tetapi telah dikikis secara sistemik.

Namun semua ini belum terlambat untuk diperbaiki asal ada kehendak dan keberanian. Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi total terhadap peraturan dan kebijakan yang berpotensi diskriminatif. 

Pendidikan multikultural harus diperkuat di sekolah-sekolah. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus dihidupkan bukan sebagai pelengkap agenda seremonial, tetapi sebagai wadah dialog lintas iman yang aktif dan representatif. 

Warga, terutama generasi muda, perlu dilibatkan dalam program yang mempromosikan keberagaman : festival lintas budaya, pelatihan toleransi, hingga ruang ekspresi bersama.

Tidak hanya pemerintah, media lokal dan tokoh masyarakat juga memiliki peran vital dalam mengubah arus. Narasi cinta dan damai perlu dikembalikan ke ruang publik melalui kampanye kreatif dan edukatif. 

Pelaporan tindakan diskriminatif harus difasilitasi dengan cepat dan transparan. Tak kalah penting, aparat penegak hukum harus berani berdiri di tengah, bukan tunduk pada tekanan mayoritas agar semua warga merasa dilindungi, tanpa melihat latar belakang keagamaannya.

Kini, kita dihadapkan pada pertanyaan penting : Apakah status kota paling intoleran ini adalah sebuah aib, atau justru alarm peringatan? Barangkali jawabannya adalah keduanya. 

Ia adalah aib, karena mencoreng warisan nilai luhur BJ Habibie yang menjunjung cinta dan kemanusiaan. Namun, ia juga adalah alarm sebuah sinyal keras bahwa Parepare sedang berada di titik kritis. 

Alarm yang berbunyi tidak untuk diabaikan, tetapi untuk dibangunkan. Agar kita tak lagi terlelap dalam slogan kosong tanpa tindakan nyata.

Parepare masih punya harapan. Kota ini masih memiliki warisan sejarah, simbol cinta, dan semangat persatuan yang dapat dihidupkan kembali. 

Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengakui kesalahan dan kemauan untuk berubah. Jangan biarkan kota ini dikenal karena judul negatif, tapi karena transformasinya. 

Jadikan luka hari ini sebagai landasan pembenahan. Buktikan bahwa Kota Cinta bukan sekadar nama indah di brosur wisata, tapi benar-benar tempat di mana perbedaan diterima, dihormati dan dirayakan.

Penulis : Rendi Pangalila
(Ketua Umum HMI MPO Komisariat UNM Gunung Sari)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

Tutup Iklan
Hubungi Kami untuk Beriklan